Home Aparatur Hari Bumi: Jutaan Anak RI Menanggung Beban Berat Akibat Krisis Iklim

Hari Bumi: Jutaan Anak RI Menanggung Beban Berat Akibat Krisis Iklim

2425
0
Anak-anak warga Takengon bergembira berenang di tepian Danau Laut Tawar, sebagai sumber air baku danau ini menghidupi jutaan warga. Komunitas global dinilai perlu lebih berperan mendukung upaya komprehensif pelestariannya akibat dampak krisis iklim dan pandemi./Foto. Agus RB

Jakarta, tanohgayo.com – Baru-baru ini, dalam Laporan global Save the Children “Born into the Climate Crisis” dan dirilis bulan September 2021 menjelaskan, krisis iklim di Indonesia dampak nyata dan dirasakan oleh anak-anak saat ini. Anak-anak di Indonesia yang lahir tahun 2020 berisiko menghadapi 3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, 2 kali lebih banyak mengalami kekeringan serta 3 kali lebih banyak gagal panen. Lebih buruk lagi, dampak krisis iklim membuat jutaan anak dan keluarga jatuh dalam jangka panjang di Indonesia.

“Studi kami sangat jelas menggambarkan bahwa anak-anak beban berat tumbuh dalam situasi yang mengancam dan karena anak memiliki beragam faktor yang membuat mereka lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi,” tegas Selina Patta Sumbung / Ketua Pengurus Yayasan Save the Children Indonesia di Jakarta, Jumat (22/4).

Krisis iklim juga mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak dalam berbagai bentuk. Tinjauan sastra yang dilakukan oleh Save the Children Indonesia pada 2022, menemukan sejumlah nomor sebagai berikut:

Secara nasional, hasil ramalan iklim sepuluh tahun menunjukkan bahwa akan terjadi pengurangan jumlah curah hujan selama El Nino. Berdasarkan peluang terjadinya peristiwa cuaca kering ekstrim pada 2020-2025, beberapa waktu diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrim di atas normal (BAPPENAS 2018). Pada 2020, Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait kejadian bencana menyebutkan sebanyak 4.650 total kejadian bencana alam dan 99,2% merupakan kejadian bencana yang berasosiasi dengan faktor iklim dan cuaca.

Di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah pengungsi akibat kekeringan meningkat signifikan dari 21.688 jiwa tahun 2018 menjadi 6 kali lebih besar pada 2019 hingga mencapai 139.746 jiwa, termasuk anak-anak.

Di Sulawesi Selatan, jumlah populasi yang terbentang luas dan abrasi yang diperkirakan mencapai 265.307 jiwa. Dari angka tersebut, 40.508 jiwa merupakan kelompok rentan termasuk anak-anak. Anak-anak yang berada di wilayah Kepulauan Selayar, Takalar, Pangkajene Kepulauan dan Makassar memiliki risiko tinggi abrasi.

Di Jawa Barat, catatan statistik tahun 2022 menyebutkan jumlah kejadian banjir mencapai 247 pada tahun 2021. Dari kejadian tersebut, korban meninggal dunia 20 orang, 282 mengalami luka dan 1.440.252 orang mengungsi dan mengungsi termasuk anak-anak. Jumlah kelurahan/desa banjir dari seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat meningkat signifikan sejak 2019 hingga 2021.

Kolaborasi STC, KLHK dan AJI menggunakan Aksi Generasi Iklim

Save the Children masih ada waktu untuk mengubah masa depan yang suram ini. Jika kenaikan suhu dijaga tidak lebih dari 1,5 derajat celcius, dampak dari ancaman iklim pada generasi mendatang dapat berkurang, seperti: kekeringan sebesar 39%, 38% untuk banjir sungai, 28% untuk gagal panen, dan sebesar 10% untuk kebakaran hutan.

“Investasi pada penurunan emisi harus berjalan beriringan dan saling melengkapi dengan upaya penurunan risiko dan peningkatan kapasitas adaptasi pada anak. Untuk itu, Save the Children Indonesia menggandeng berbagai pihak, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk bersama-sama melakukan aksi adaptasi melalui Aksi Generasi Iklim,” jelas Selina.

Aksi Generasi merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi dan dipimpin oleh anak-anak dan orang muda dengan tujuan memastikan anak-anak dan keluarga terutama yang dapat diambil langsung dari krisis iklim melakukan upaya-upaya bertahan hidup dan beradaptasi, serta memperkuat sistem penanganan perubahan yang lebih berpihak pada anak.

“Setelah mendapatkan penjelasan mengenai dampak krisis iklim, saya lebih sadar bahaya perubahan iklim yang kita alami hari ini. Sudah saatnya anak-anak bergerak dan dilibatkan, karena kami yang akan mengalami dampak terburuk dari iklim saat ini dan di masa mendatang,” jelas Ranti, 17 tahun / Perwakilan Child Campaigner Jawa Barat Save the Children Indonesia.

Menurut Ranti, pemerintah harus melibatkan anak-anak dalam membangun kesadaran dampak krisis iklim dan menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk anak-anak berpendapat.

“Harusnya, semua anak bisa berpartisipasi. Tapi ya masih banyak anak-anak belum tahu tentang krisis iklim dan bagaimana mereka bisa berperan untuk membuat perubahan. Sebagai Child Campaigner, saya ingin mengajak semua anak bergerak dan tidak takut untuk bersuara.” ujar Ranti.

Aksi Generasi Iklim diprakarsai oleh anak-anak Indonesia terutama yang menangani dan langsung menangani krisis iklim, anak-anak tersebut berasal dari Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.

“Inisiasi Aksi Generasi Iklim yang dilakukan oleh anak-anak dan orang muda berkontribusi pada program adaptasi perubahan iklim penting yang melibatkan anak dan orang muda dalam upaya adaptasi,” jelas Sri Tantri Arundhati, Direktur Adaptasi Perubahan Iklim – KLHK Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (rl)