Home Aparatur Shabela: Tiga Faktor Penyebab Bencana di Aceh Tengah

Shabela: Tiga Faktor Penyebab Bencana di Aceh Tengah

1312
0

Takengon, tanohgayo.com – Pemerintah Kampung Paya Tumpi Baru Kecamatan Kebayakan menggelar Diskusi Terbatas Refleksi Satu Bulan Bencana Banjir Bandang, Sabtu (13/06/2020).

Diskusi yang mengangkat tema “Pasca Banjir Bandang dan Upaya Penanganannya” ini, diinisiasi oleh Reje Kampung Paya Tumpi Baru bekerjasama dengan Forum DAS Krueng Peusangan (FDKP).

“Gelaran diskusi terbatas ini dilakukan dalam rangka menemukan langkah-langkah penanganan dan upaya mitigasi dalam kaitannya dengan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana banjir bandang yang terjadi pada 13 Mei 2020 lalu,” kata Idrus Saputra, Reje Kampung Paya Tumpi Baru.

Hadir pada kesempatan tersebut, Bupati Aceh Tengah Drs. Shabela Abubakar didampingi Asisten-II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setdakab Aceh Tengah, H. Harun Manzola.

Shabela Abubakar selaku pembicara menyampaikan bahwa ancaman bencana berupa banjir bandang maupun tanah longsor setiap tahunnya meningkat di Kabupaten ini. Hal tersebut karena topografi alam Kabupaten Aceh Tengah yang sebagian besar bergelombang, berbukit dan bergunung dengan curah hujan yang tinggi ditambah lagi dengan tutupan hutan yang semakin menyempit, adalah potensi ancaman bencana yang rawan terjadi bila musim penghujan tiba.

Disamping itu, faktor perilaku masyarakat juga ikut memberikan kontribusi dalam memicu terjadinya bencana banjir dan longsor akibat merubah fungsi dan jalur aliran air yang telah terbentuk secara alami dan klasik. “Ada banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya bencana banjir dan tanah longsor di daerah kita. Diantaranya topografi, hidrologi dan perilaku masyarakat” tutur Shabela.

Bupati Shabela menambahkan, kondisi tutupan hutan pada Gunung Hujen dan Gunung Pantan Terong yang berkontur miring dan curam, saat ini sangat memprihatinkan. Kondisi ini diperparah dengan jalur air klasik yang terbentuk secara alami telah terjadi perubahan bentuk baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

Mirisnya, kondisi aliran air pada anak sungai atau alur ini tidak hanya buruk pada hulunya saja, tetapi aliran menuju hilir juga sudah sangat memprihatinkan akibat perilaku masyarakat.

Untuk itu, Shabela berpendapat, agar bencana jangka panjang dapat diminimalisir, penanganannya harus dilakukan secara kolektif seperti reforestasi, sistem drainase dan perubahan perilaku masyarakat. “Disamping reforestasi untuk tutupan hutan, kedepan kita akan upayakan naturalisasi anak sungai dari hulu ke hilir. Mengedukasi masyarakat agar tidak merusak fungsi pencegah erosi pada lahan yang miring curam serta menyusun aturan mengenai pembangunan dipinggiran sempadan anak sungai atau alur” tegasnya.

Diskusi yang berlangsung selama dua sesi sejak pagi hingga sore hari tersebut, diikuti oleh sejumlah peserta dari unsur pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat serta aktivis lingkungan termasuk anggota legislatif.

Terdapat beberapa rekomendasi yang berhasil disepakati, yang nantinya akan menjadi bahan kebijakan dan penyusunan regulasi dalam penanganan pasca bencana banjir bandang Kampung Paya Tumpi Baru. (AG)