Home Aparatur Sikapi Pokir Dewan, Ini Surat Terbuka Laskar Merah Putih Markas Aceh Tengah

Sikapi Pokir Dewan, Ini Surat Terbuka Laskar Merah Putih Markas Aceh Tengah

647
0
Al Fata, Ketua Badan Pengurus Markas Cabang LMP Aceh Tengah.

Takengon, tanohgayo.com– Menyikapi  dana aspirasi anggota dewan ( pokok pikiran) Laskar Merah Putih (LMP) Maskar Aceh Tengah melayangkan surat terbuka; berikut isi surat yang dirangkum tanohgayo.com

Salam Kebangsaan,

Berdasarkan pentingnya Peran Serta Masyarakat Dalam Pengawasan Pelaksanaan Proses Tender Pengadaan barang dan jasa maka Laskar Merah Putih Markas Cabang Aceh Tengah sebagai organisasi masyarakat yang mengemban misi turut berpartisipasi aktif dalam mengkritisi kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat dalam rangka mewujudkan kemandirian usaha kecil, menengah serta mendukung penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Dalam pengadaan barang dan jasa, peran Laskar Merah Putih melakukan fungsi pengawasan dan tindakan pencegahan penyimpangan dan mengidentifikasi kelemahan sistem pengendalian intern dan mendorong fungsi pengawasan aparat penegak hukum dalam melakukan pencegahan penyimpangan yang terjadi dalam proses tender dan memberikan keyakinan bahwa proses pengadaan barang dan jasa telah sesuai ketentuan yang mengaturnya, memastikan proses pengadaan barang dan jasa mampu melindungi pihak-pihak berkepentingan, memastikan penawaran yang masuk dinilai berdasarkan kriteria yang sama, memelihara tingkat kepercayaan publik bagi peserta tender, meyakinkan keputusan yang dibuat terhindar dari tuntutan hukum, menciptakan akuntabilitas dalam proses pengadaan barang dan jasa serta memastikan bahwa pengadaan barang/jasa dilakukan secara 9 (sembilan) benar (butuh, jumlah, kualitas, waktu, nilai, lokasi, manfaat, pertanggung jawaban dan menguntungkan negara).

Lahirnya Permen PUPR nomor 14/PRT/M/2020 merupakan peran aktif masyarakat jasa konstruksi dalam mengkristisi kebijakan berdasarkan Putusan Mahkamah agung Nomor 64/P/HUM/2019, Keputusan Mahkamah Agung ini Membatalkan Permen PUPR nomor 07/PRT/M/2020 yang dianggap tidak mewakili sekmentasi pasar jasa konstruksi di daerah dan bertentanggan dengan peraturan perundang-undamgan diatasnya, langkah masyarakat jasa konstruksi ini perlu diapresiasiasi dan didukung sepenuhnya guna mewujudkan Indonesia Adil dan Makmur.

Sesuai dengan yang diamanahkan dalam konsideran Pembentukan Undang-undang Jasa Konstruksi Nomor 2 Tahun 2017 bahwa Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Permen PUPR nomor 14/PRT/M/2020 membuat dunia usaha berada pada satu titik balik dimana semua batasan dan aturan dalam tender telah diatur dengan jelas sehingga memperkecil terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Tinggal Keinginan semua pihak guna mendukung dan mensukseskan program pemerintah mengenai “STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI”.

Demi Kebelangsungan hidup berbangsa dan bernegara sudah saatnya semua elemen menempatkan segala sesuatunya pada jalurnya (On The Track) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga menciptakan iklim usaha yang dinamis, guna bangkit dari keterpurukan dunia usaha konstruksi akibat badai wabah Covid-19 yang melanda.

Langkah efesiensi anggaran pemerintah dalam sektor pengadaan barang dan jasa perlu dilaksanakan secara seksama tanpa mengabaikan kaidah teknis yang berlaku didasari atas terbitnya Permen PUPR Nomor 14 tahun 2020 semua peryaratan yang tertuang dalam dokumen pengadaan telah diatur lebih sederhana yang dapat membuat para pelaku usaha diberikan kesempatan dan peluang yang sama.

Berdasarkan Pokok pikiran diatas Laskar Merah Putih Markas Cabang Aceh Tengah perlu melakukan tindakan konkrit dan komitmen bersama dalam mengawal proses pengadaan barang jasa kabupaten Aceh Tengah tahun anggaran 2020 agar Jujur, bersih dan tanpa interpensi.

Langkah Konkrit yang akan dilakukan Laskar Merah Putih Markas Cabang Aceh Tengah adalah mensukseskan program KPK dikabupaten Aceh Tengah dengan Selogan “Gerakan Berani Jujur Hebat”.

Dalam Pelaksanaan Gerakan Berani Jujur Hebat yang di galang Laskar Merah Putih Markas Cabang Aceh Tengah juga mencari kebenaran desas desus yang berkembang di tengah masyarakat mengenai Pokir (Pokok Pikiran) Anggota DPRD Kabupaten Aceh Tengah atau yang juga biasa disebut Dana Aspirasi Anggota DPRD kami yakin ini hanya perbuatan segelintir anggota DPRD tetapi cukup membuat nama Dewan Perwakilan Rakyat tercoreng.

Dalam pengelolaan anggaran berdasarkan pokok pikiran (Pokir/Aspirasi) anggota DPRD kita harus berkaca pada kasus DPRD Kabupaten Garut yang telah menuai masalah, kami tertarik terhadap terhadap Tulisan Galih Fachrudin Qurbany Dir. Pusat Analisa Kebijakan dan Informasi Strategis (PAKIS) dan Aktivis 98 yang menngulas dengan gamblang tentang permasalahan tentang dana Pokir/ aspirasi anggota DPRD Kabupaten Garut berikut kutipannya.

Mahluk berjenis apa itu pokir DPRD ?

Pokir (Pakok-Pokok Pikiran) DPRD adalah produk usulan hasil reses yang dilakukan oleh anggota DPRD. Reses yang menghasilkan sejumlah usulan-usulan yang berasal dari konstituens anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing. Ini senada dengan yang menyatakan bahwa pokir adalah usulan aspirasi.

Dengan demikian pokir DPRD sesungguhnya adalah nomenklatur yang mirip dengan “penjaringan aspirasi masyarakat”,(Jaring Asmara ) sebagaimana pernah tercantum dalam PP 1/2001 dan PP 25/2004 yang pada pokoknya menyatakan anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

Istilah pokir juga tercantum pada Pasal 55 huruf (a) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 adalah salah satu tugas Badan Anggaran DPRD “memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”.

Jadi sangat jelas dalam PP 16/2010 menegaskan bahwa “aspirasi masyarakat” berbentuk pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah. Tetapi penjelasan itu tidak mengurangi pelbagai masalah yang akan muncul perihal pokir DPRD.

Masalah-masalah tersebut antara lain:

Pertama, sebagaiman dijelaskan bahwa pokir disampaikan paling lambat 5 bulan sebelum APBD ditetapkan hal tersebut dalam prakteknya ditemukan adanya perbedaan waktu reses dan frekwensi pembahasan APBD. Reses DPRD dilaksanakan 3 (tiga) kali dalam setahun yaitu bulan April, Agustus dan Desember. Sementara frekwensi pembahasan APBD hanya terjadi dua kali: pembahasan APBD (murni ) dan APBD perubahan, yakni selambatnya bulan Desember untuk APBD (murni) dan bulan September tahun berjalan untuk APBD perubahan. Sedangkan ketentuan penyampaian pokir DPRD selambatnya 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD. Namun dalam perakteknya ketentuan ini sering dipandang sebelah mata oleh DPRD karena sering usulan berupa pokir masuk injury time menjelaskan ditetapkannya APBD.

Masalah kedua, apa wujud output dokumen dari pokir DPRD tersebut?. Secara kelembagaan, seharusnya pokir harus dalam bentuk keputusan pimpinan DPRD. Hal ini untuk menghindari klaim sepihak baik oleh anggota, pimpinan, komisi atau Banggar baik secara lisan maupun tertulis bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah pokir DPRD. Yang terjadi digarut malah bupati melalui Bapeda meminta daftar usulan pokir kepada DPRD.

Sementara tata tertib DPRD maupun PP 16/2010 tidak mengurai secara terperinci bagaimana mekanisme dan tata cara hingga melahirkan dokumen negara yang disebut pokir DPRD. Ada keterputusan antara Tim Inventarisasi Hasil Reses yang mengkompilasi dan menilai laporan reses dari semua anggota DPRD kepada output berupa pokir DPRD yang selanjutnya diserahkan kepada Banggar. Ketidakjelasan ini, mengakibatkan masing-masing anggota, komisi bahkan fraksi dan bahkan mengatasnamakan kepentingan pribadi anggota dewan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pokir DPRD dan terkesan menjadi ajang perlombaan sebanyak banyaknya mendapatkan anggaran dan smakin banyak anggaran semakin banyak pula keuntungan cash back yang bisa diraih.

Atas Ketidakjelasan apa itu pokir DPRD beserta mekanisme dan tata cara penyampaiannya berakibat munculnya praktek-praktek penyalahgunaan istilah “pokir” oleh anggota DPRD.

Penyalahgunaan itu antara lain berwujud:

Satu, diasumsikan bahwa pokir adalah hak anggota DPRD karena berasal dari laporan hasil reses di masing-masing daerah pemilihan. Anggota DPRD melakukan “penitipan proyek” di RAPBD baik secara perserorangan maupun lewat komisi atas nama pokir DPRD. Pembahasan RAPBD antara Komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berujung pada usulan proyek tertentu dengan mengatasnamakan pokir DPRD. Padahal ketentuannya, pokir DPRD merupakan tugas Banggar untuk menyampaikannya.

Dua, dalam perkembangannya pokir berubah wujud menjadi dana jenis-jenis kegiatan atau disebut dana pokir. Titik tekannya pada sejumlah usulan dana, bukan pada perjuangan aspirasi dan usulan yang terangkum dalam pokir. pokir adalah “teknik dan jurus siluman”anggota DPRD dalam menggasak APBD.

Karena berdasarkan aturan penyampaian pokir 5 (lima) bulan sebelum penetapan APBD, masih dalam tahapan pembahasan RKPD (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) hingga pembahasan Kebijakan Umum APBD (KUA). Dimana belum bicara tentang jenis-jenis kegiatan dan satuan harga. Jenis-jenis kegiatan dan satuan harga baru terjadi pada tahap pembahasan RKA-SKPD. Tapi prakteknya, saat pembahasan RKA-SKPD inilah dana pokir disusupkan. Karena jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal.

Tiga, dalam perkembanganya “pokir” menjadi semacam sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD. Istilah “pokir” telah diketahui umum dikalangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menitipkan sejumlah proyek-proyek tertentu dalam APBD. Oleh karenanya istilah “pokir” tidak lagi dimaknai sebagai pokok-pokok pikiran DPRD. Dan proses pengajuan “pokir” sebagai kode dilakukan semua pihak diluar Banggar dan diajukan tidak lagi bersandar pada batas waktu maksimal lima bulan. Pokoknya “pokir” diajukan sebelum RAPBD diserahkan kepada Kemendagri. Karena “pokir” yang diajukan menjelang penetapan APBD maka tidak heran jika jenis kegiatan yang diusulkan keluar dari program prioritas dan pagu anggaran yang tertera dalam PPAS.

Dari hasil investigasi dan obrolan warung kopi (terselubung ), pokir juga merupakan ladang duit bagi anggota dewan. Anggota Dewan menjadikan pokir sebagai penghasilan tambahan diluar gaji ,tunjangan dan SPPD, Intinya, ini urusan perut,”. Dana pokir yang dapat diusulkan berkisar diangka Rp 50 – 200 juta per judul. Masing-masing anggota DPRD dapat mengajukan hingga puluhan judul pokir, meskipun konon jatah pakir terbatas pada nilai nominal tertentu. tapi faktanya sangat berbeda jumlah akumulasi usulan dari masing-masing dewan baik dari sisi struktur AKD maupun kelincahan individu anggota dewan dalam melakukan loby-loby kepada SKPD dibawah koordinasi / mitra kerjanya dan Praktek semacam ini sebenarnya sudah berlangsung lama dan tidak hanya terjadi di kabupaten Garut saja tetapi juga di daerah-daerah lain.

Atas tinjauan legal formal dan sosio politik, sangat jelas dan terang bahwa POKIR adalah program legal dan legitimate yang dimiliki oleh setiap anggota dewan bahkan sebuah program yang mulia bagi masyarakat didaerah pemilihannya untuk diperjuangkan dan direalisasikan secara benar, karena dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang merasa belum merasa mendapatkan keadilan dalam pembanguan baik fasilitas fisik maupun non pisik dari pemerintah yang harus terus diperjuangkan hak-haknya oleh anggota dewan yang mewakili masyarakatnya.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memojokan anggota Dewan “playing Victim “ dan penggiringan opni, akan tetapi lebih pada sebuah telaah “internalisasi kognitif” dan kritik terhadap praktek oknum anggota dewan dan birokrat yang melakukan “persekongkongkolan jahat”, sehingga benang kusut yang belum mampu diurut bahkan menjadi The Devil cyrcle ( lingkaran setan ) menjadi sebuah perbaikan yang mendasar, dan menyentuh atas tugas mulia seorang anggota dewan dalam menjaring dan mendorong segenap aspirasi ( apil) masyakatnya,yang dituangkan dalam pokir tanpa merasa takut dan hawatir.

Sebagai penutup dan sebuah harapan, sudah sepantasnya program-program pokir yang dimasukan dalam APBD jangan hanya dipikirkan sebatas dapat menggunakan dan “menghabiskan” anggaran, apalagi dalam rangka meraih cash back (surplus penghasilan). Karena kalau pembangunan hanya semata-mata karena kita punya uang ( berbasis anggaran ) dan ada keuntungan untuk pribadi lalu kita membangun, maka “tukang beca”pun bisa. Jika itu yang terjadi kita harus revisi dan pertanyakan ulang, (Galih Fachrudin QurbanyDir. Pusat Analisa Kebijakan dan Informasi Strategis (PAKIS) dan Aktivis 98) Editor:Firdaus)

Kasus Pokir DPRD Kabupaten Garut walau belum berakhir bisa menjadi pelajaran dan bahan masukan untuk mendudukkan Tugas dan Fungsi Perangkat Daerah untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, Terutama bagi Unit Lanyanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Aceh Tengah untuk bersikap professional dalam menjalankan proses pemilihan pengadaan barang dan jasa tahun anggaran 2020 sesuai dengan peraturan perUndang-undangan dan kaidah teknis yang berlaku.

Gerakan Berani Jujur Hebat yang digalang Laskar Merah Putih Markas Cabang Aceh Tengah akan menampung aspirasi masyarakat tentang pelaksanaan Pemilihan Pengadaan Barang/jasa dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah Tahun Anggaran 2020 untuk Jujur, Bersih dan tanpa interpensi.

“Demonstrasi dan Orasi bukan budaya kami tapi jangan jadikan itu sebagi satu-satunya solusi”

Demikian yang dapat kami sampaikan semoga dapat menjadi perhatian, atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.

Al Fata, Ketua Badan Pengurus Markas Cabang LMP Kabupaten Aceh Tengah. (rilis)